|
Kabut Jalan Impianku
T
|
ak ada salah dan
bawaan ini akan kusampaikan mati. Bawaan yang telah ada sejak aku belum dilahirkan, bawaan yang membawa
sperma A bertemu kromosom B yang tidak sempurna. Mereka bersatu membentuk
zigot, kehidupan yang telah mempunyai takdir. Sebut saja namaku “Dara”. Sejak
aku duduk di bangku sekolah aku sudah menonjol di bidang akademik. Prestasiku
adalah cahaya bagi kedua orang tuaku, untuk memiliki masa depan yang lebih
baik.
Semua bermula ketika aku duduk di bangku SMP. Sejak saat itu waktu dan
hari-hariku hanya tertuju
pada bidang akademik saja, aku banyak mengorbankan waktu bermainku hanya untuk
belajar dan belajar. Tak seperti kebanyakan anak-anak yang lainnya, di saat
mereka sedang asyik bermain, aku justru tengah sibuk berpikir dan belajar,
untuk mewujudkan impian-impian kedua orang tuaku.
Menjadi tumpuan harapan bagi kedua orang tuaku, membuatku tak mempunyai
pilihan lain selain mewujudkan impian mereka. Namun semua itu kini luluh lantak
bagai gunung pasir yang
tersapu ombak. Bukan lantaran aku malas, tidak pandai, atau orang tua tidak
memberikan dukungan, bukan! Tapi masa
depanku hancur karena takdir yang telah tertulis sejak aku masih di dalam
kandungan.
Dan detik-detik kegagalanku dimulai, semua bermula setelah aku lulus dari
SMA N di kota. Aku lulus dengan hasil yang memuaskan, semua itu semakin
memantapkan hatiku untuk mewujudkan impian kedua orang tuaku. Ditambahkan lagi
aku mendapatkan beasiswa
setiap tahunnya selama 4 tahun, dengan syarat harus kuliah di PTN pada tahun
pertama. Semua itu adalah mimpi yang menjadi kenyataan bagiku dan keluarga
besar kami.
“Nak, kau harus menjadi
dokter, karena hanya itu profesi yang bapak rasa cocok untukmu. Kelak bila
bapak sudah tua dan sakit-sakitan, alangkah bahagianya bila bisa berobat dengan
anak kandung sendiri!” kata
bapak. “Iya, Pak, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mewujudkan impian bapak,” sahutku.
Aku tersenyum mendengarnya, begitu besar pengorbanan bapak untukku. Untuk
mewujudkan impianku, ia rela
mengorbankan separuh uang pension yang diterimanya untuk membiayai
pendidikanku. Aku berusaha keras untuk diterima di PTN. Aku tak mau bapak
berhutang, pinjam uang, atau jual tanah untuk membayar uang masuk FK di PTS.
Aku sadar diri mengingat latar belakang keluargaku yang tak mampu.
Saat itu mereka memohon agar aku masuk FK saja, meskipun sudah aku
jelaskan betapa resikonya pilihan itu, dan begitu besar biayanya. Namun, hati
anak mana yang tak luluh, hati anak mana yang tak tersentuh melihat permohonan
dari kedua orang tuanya. Dengan berat hati aku menerima keinginan mereka,
sambil berdoa semoga pilihan kedua orang tuaku itu membawa berkah.
Sampai tiba pengumuman
SMNPTN 1, aku lulus di fakultas kedokteran di sebuah universitas di daerahku.
Aku menangis dalam sujudku, lalu mencium kaki ibu dan bapakku. Tiba saatnya aku
menjalani tes kesehatan termasuk tes ishihara. Di sinilah mataku dan bapakku
kian terbuka melihat apa yang ada di hadapan.
“Adik tidak lulus di
mata kuliah Mikrobiologi dan Sitologi..” kata dokter.
“Memangnya apa yang
terjadi dengan diri saya, dokter?” sahutku sambil terkejut.
“Adik mengalami kelainan pada mata yang sering dikenal dengan sebutan Partial Colour Blindess..”
Telah lelah kami berjuang, namun takdir berkata lain. Terlalu berisiko
melanjutkan perjuangan ini,
akhirnya kami menyerah. Bapak menangis bagai maghligai pasir yang lantak
dilamun ombak saat pasang menjelang. Tubuhku serasa di neraka, air mataku
mengalir deras berusaha memadamkan api neraka, tenggorokanku terasa meneguk air
paling pahit yang pernah tercipta.
Perasaanku bercampur
aduk, sedih, putus asa, menyesal. “Jangan menangis, Bapak..” kataku dalam hati.
Selama kiamat belum datang, selama nyawa masih dikandung badan, akan sabar
kutunggu takdir berubah. Kalau gelapku hanya sekejap gerhana, kalau matahariku kembali benderang,
jangankan istana, seluruh samudraku dan benuaku untukmu.
Isti Winarni
XI Busana Butik 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar