|
MAAF
UNTUK MAMA
Kata orang, Surga itu ada di telapak kaki ibu. Tapi apakah kalau ibunya
kejam, tak berperasaan masih
ada surga di telapak kakinya? Memang sih, mamaku tidak menyuruhku bekerja
keras. Bahkan berkata kasar pun belum pernah kurasa. Tapi kenapa aku begitu
membencinya? Karena mamaku sudah merusak kebahagiaan hidupku….
***
“Fira, ayo sarapan….” sebuah suara yang amat aku kenal terdengar
dari depan kamarku.
“Bentar, Yang….” jawabku sambil mengenakan dasi
hitam yang wajib aku pakai tiap hari Senin.
Setelah yakin dengan penampilanku, kuambil tas babyblue yang sudah aku
isi dengan buku pelajaran. Hari Senin yang baru di bulan yang baru. Juli, I
love you!
“Kenapa dari tadi
senyum-senyum sendiri?” tanya eyang sambil menatapku heran. Takut kalau cucu
kesayangannya ini gila mungkin.
“Sudah nggak waras mungkin eyang,” kata Faisal cucu sahabat eyang yang setiap pagi datang untuk makan
pagi. Orang tuanya ada di luar kota
dan dia sendiri di rumah. Karena dia cucu sahabat eyang, maka eyang menyuruhnya
sarapan di sini. Nyebelin deh!
“Enak aja! Kamu itu
yang nggak waras. Udah punya pembantu di rumah masih numpang makan….” kataku
kesal.
“Aku cuma diminta eyang
kok,” kata Faisal enteng.
“Dasar, nggak punya
malu!”
“EHM!!”
Eyang menghentikan
perang mulut yang selalu terjadi jika Faisal membuka mulut. Heran deh, selalu
saja aku nggak pernah bisa akur dengan cowok di depanku ini. Padahal kalau
dengan cewek lain, Faisal akrab banget.
“Fira…..!!” Eyang menatapku lekat-lekat, aku jadi
takut dibuatnya.
“Apa kamu gila?” tanya
eyang tanpa aku duga.
Langsung saja Faisal
tertawa keras. Tentu saja ia merasa senang karena eyang mendukungnya, nyebelin!
“Eyang….Fira
senyum-senyum dari tadi karena ini adalah bulan Juli! Bukan karena gila…” jelasnya kesal.
“Memang ada apa di bulan Juli?” tanya Faisal penasaran.
“Ada kucing mati di depanmu!” kataku.
Wajah Faisal langsung
marah. Aneh deh, masak cowok takut sama kucing. Dasar, nggak jantan.
“Ayo… sudah 06.30.
Kalian nanti terlambat,” ujar eyang mengingatkan kami berdua.
Aku mengangguk cepat.
Setelah segelas susu masuk ke perutku, aku segera berpamitan. Dan sekali lagi,
Faisal merusak hari Seninku. Eyang menyuruhnya mengantarku! Sial, kenapa aku
malah ngrasa beruntung sih…
***
Sore itu, seperti
biasa, aku membantu eyang menyiram taman di belakang rumah.
“Bulan ini umurmu sudah
16 tahun kan?”
tanya eyang.
“Ya…”
“Kalau begitu sudah 4 tahun kamu tinggal di sini, dan itu berarti sudah 4
tahun juga kamu sudah meninggalkan rumah. Apa kamu tak merasa sedih? Kangen
dengan mamamu?”
“Kangen? Nggak ada rasa
itu di hatiku,” kataku sambil
menggenggam erat selang hijau di tanganku. Sebenarnya ada rasa kangen dalam
hatiku. Kangen sama mama, tapi rasa benciku mengalahkan semuanya.
***
“Eyang belum pulang,
Ra?” tanya Faisal yang datang untuk makan siang.
“Belum, “ jawabku malas.
Kenapa sih cowok ini, akhir-akhir ini sering mampir ke rumah!
Jangan-jangan dia mau PDKT- ma aku…!
“Aku dengar hubungan
kamu sama mama kamu nggak baik ya, kenapa?”
Aku menatap Faisal.
Pasti eyang yang cerita. Kenapa sih eyang harus bilang hal ini ke cowok yang
bernama Faisal?! Dia kan
bisa memojokkanku habis-habisan. “Marahan lebih dari 3 hari itu dosa lho,
apalagi sama orang yang udah melahirkan kita ke dunia ini, bisa kualat… kamu
nggak takut kalau tiba-tiba jadi batu kayak Malin Kundang?” tanya Faisal.
Aku terus diam. Kenapa cowok seperti ini yang aku harapkan jadi orang
yang aku sayang?! Kenapa aku bisa suka dengan cowok seperti
Faisal?!
“Mendingan kamu minta
maaf deh, kamu itu cewek. Lagian apa susahnya minta maaf doang…”
“Diam!!!” aku memotong kalimat Faisal. “Aku mau minta maaf atau bukan, itu urusanku! Tolong jangan ikut
campur urusanku… Jangan sampai aku tambah benci sama kamu!” kataku sambil
berlari ke kamar.
Seharian aku mengurung diri di kamar. Memikirkan perkataan Faisal. Minta
maaf? Bukankah itu yang harus
mama lakukan kepadaku? Karena mama yang sudah menghancurkan hidupku.
Aku masih ingat hari itu. Hari saat mama dan papaku bertengkar karena
papa memergoki mama keluar dengan pria lain. Hari di mana pertama kalinya aku mendengar suara keras papa dan mama
keluar. Hari di mana aku terakhir
melihat wajah papa….
“Fira…Fira…ayo keluar
sayang…”
Aku segera menghapus
air mata yang jatuh ke pipiku. Eyang nggak boleh tahu kalau aku menangis.
“Ada apa
eyang?” tanyaku.
“Kata Faisal, kalian
tadi bertengkar?” tanya eyang
balik.
“Iya. Habis dia
nyebelin…sok ikut campur urusanku. Pasti eyang yang kasih tau dia tentang
masalahku dan mama, kan?
Eyang gimana sih, kan eyang tahu kalau aku dan Faisal itu nggak pernah akur….”
“Maaf, eyang kelepasan….kamu
sudah makan malam?” tanya
eyang.
“Belum.”
“Makan yuk.”
Ada yang aneh denagn sikap eyang malam ini. Biasanya beliau paling suka
bicara saat makan malam. Entah apa saja. Tapi malam ini eyang banyak diam.
Bahkan melamun.
“Eyang sakit?” tanyaku.
“Duduklah…eyang mau
bicara sesuatu” kata eyang.
Dengan tanda tanya di
kepalaku, aku mengangguk. Pasti ada sesuatu yang teramat penting. Muka eyang
tampak sedih sekali. Dan aku yakin, ini pasti sesuatu hal yang buat eyang
terluka.
“Tadi…….eyang ketemu sama mama kamu…”
Jantungku langsung berdetak kencang mendengar hal ini. Eyang ketemu sama
mama kok sedih? Padahal biasanya eyang seneng banget kalau ketemu mama. Maklum,
mamaku orang yang sibuk, jadi sulit buat ketemuannya.
“Ketemu…mama?” tanyaku untuk memastikan pendengaranku.
“Iya… di rumah sakit,” jawab eyang sambil menggenggam
erat minumnya.
“Di… rumah sakit? Eyang
ngapain di rumah sakit?” tanyaku
“Cek seperti biasa.
Tapi mamamu ada di sana.
Dan kau tahu apa penyakit yang sedang diderita oleh mamamu?” tanya eyang.
Aku hanya menggeleng.
Setahuku mama jarang sakit. Dan rumah sakit? Parahkah penyakitnya?
“Kanker otak.”
Tiba-tiba saja aku seperti merasa dalam ruangan yang kosong. Hampa.
Sendiri. Sakit. Apa telingaku
tak salah dengar? Kanker otak?! Bukankah itu suatu penyakit yang menyakitkan?
Dan mamaku?! Apa tak salah ….
“Kan…ker
otak?” tanyaku tak percaya.
“Iya. Kanker otak stadium akhir.”
Kepalaku serasa dipukul
dengan benda berat. Mamaku? Kanker stadium akhir?
“Fira…kamu tidak mau menemui mamamu?” tanya eyang hati-hati.
Aku menundukkan kepala.
Jujur, setelah mendengar mama terkena kanker otak, ada rasa sedih dalam hatiku.
Tapi haruskah aku menemui beliau? Orang yang telah merusak hidupku. Orang yang
telah memisahkan aku dari papa. Orang yang telah membunuh papaku…
“Fira.. apakah kamu
masih belum bisa memaafkan mamamu?”
“Nggak tahu, Yang… Fira
masih nggak bisa nglupain semuanya…”
Tiba-tiba kurasakan
tangan eyang mengelus pundakku. Mungkin beliau dapat merasakan kegalauan hatiku.
“Tapikan mama udah minta maaf,”
kata eyang.
“Minta maaf? Fira nggak akan nganggep itu sebagai permintaaan maaf
sebelum mama datang sendiri!” kataku.
Mama memang selalu
minta maaf, tapi lewat eyang. Beliau nggak pernah minta maaf langsung. Mungkin
mama emang nggak sayang ma aku. Dan mungkin mama udah nggak butuh aku lagi.
Buktinya, beliau bunuh papaku dan nggak pernah minta maaf.
“Udah malem, tidur
sana,” kata eyang sambil berdiri.
Aku mengangguk. Setelah mencuci piring makan, aku kembali ke kamar.
Perlahan aku buka jendela
kamarku. Dengan celana panjang dan jaket, aku keluar menuju balkon kamarku.
Angin malam langsung menyambutku. Dingin.Sepi.
“Hei…”
Wajah tengil Faisal langsung terlihat begitu aku menolehkan kepalaku.
Rumahnya memang berdekatan denganku. Dan kamarnya sama, di lantai atas
sepertiku. Tapi kenapa dia bisa tahu kalau aku sedang duduk di sini?! Wah, aku jadi GR-nih…
“Ngapain kamu ke sini?”
tanyaku sedikit malas.
“Inikan rumahku,” kata Faisal.
Dalam hati aku
meruntuki kebodohanku. Faisal kan
berdiri di balkon rumahnya. Tapi tetap saja aku tak mau berbaikan dengannya.
Malas.
“Kok diam?” tanya
Faisal.
“Kenapa kau keluar? Nggak ngantuk?”
Lama. Tak ada jawaban
dari Faisal. Kenapa dia tiba-tiba diam? Apa dia sudah masuk kamarnya? Tapi nggak kedengaran suara pintu
ditutup tuh!
“Dulu aku juga pernah
marah sama orang tuaku…”
Aku menoleh. Ternyata
Faisal sudah duduk di kursi sampingku.
“Papa dan mama sering banget keluar kota. Aku pikir itu
karena mereka nggak sayang sama aku, mereka tak pernah menginginkan aku ada. Aku
seperti patung bagi mereka….” Faisal
diam mengambil nafas panjang. Lalu dia melanjutkan lagi,
“Tapi aku sadar, mereka
bukan tak menginginkan aku. Tapi mereka sangat sayang padaku. Mereka ingin buat
aku bahagia.. Dan aku mulai mencoba untuk mengerti mereka.”
Aku termenung. Tak kusangka Faisal yang nyebelin ini punya kehidupan yang
pahit. Aku kira dia nggak pernah mikirin kedua orang tuanya yang selalu pergi
keluar kota.
“Fira….”
“Apa…”
“Aku emang nggak tahu apa-apa tentang masalah kamu sama mama kamu, tapi
aku mau bilang, semua orang pernah nglakuin kesalahan, dan kita nggak boleh
menghakimi mereka. Kita harus maafin mereka. Tuhan aja bisa maafin hambanya,
masak kita yang manusia nggak mau memaafkan. Padahal kan kita hanya makhluk biasa dan kita itu
sama.”
“Aku bukan Tuhan!”
“Fira…, tapi kasihan mama kamu!”
“Aku bukannya nggak mau
maafin mama, mama yang nggak menginginkan aku!” kataku setengah menahan tangis.
Kenapa seperti ini. Kenapa aku jadi disalahkan terus!
“Memangnya kamu pernah
denger mama kamu bilang kayak gitu?!”
“Udahlah, aku capek debat terus sama kamu!”
Setelah berkata seperti
itu, aku masuk ke kamar. Kutinggalkan Faisal sendiri di balkon rumahku.
***
Matahari pagi yang
lembut menerpa wajahku. Sudah dari jam 05.00 pagi aku meninggalkan rumah eyang
tanpa pamit. Aku pengen nenangin diri. Mungkin eyang dan Faisal benar. Aku yang
harusnya datang ke mama dan minta maaf. Atau seenggaknya aku beri mama
kesempatan untuk minta maaf. Aku memang anak durhaka!
“OK! Aku akan minta maaf!” seruku sambil mengepalkan tangan.
Dalam perjalanan pulang
ke rumah eyang, aku sudah berencana kalau hari minggu ini aku akan ke rumah
mama. Beliau pasti ada di rumah kalau hari minggu.
Tunggu! Kenapa tak
sekarang saja. Kan
bisa kasih kejutan buat eyang. Lagian rumah mama deket. Cuma beda blok. Enaknya
bawa apa ya ....??
“Aha! Brownies coklat,
mama suka banget….” ucapku
sendiri.
Untung saja di sekitar
kompleks ada cake house yang buka 24
jam.
“Aduh!!!!!…”
Tanpa sengaja aku
menabrak seseorang yang baru keluar dari cake
house itu. Aduh, saking semangatnya……..
“Fira ...??”
Deg! aku kenal banget suara ini. Suara yang selalu hadir dalam mimpiku. Suara yang selalu kurindu. Suara yang…
“Mama ....?!”
Tiba-tiba tubuh mama akan jatuh, aku segera menangkapnya. Tanpa pikir
panjang aku langsung membawa
beliau masuk ke dalam cake house,
dan mendudukkan beliau.
“Ada apa mbak?” tanya salah satu penjaga cake house.
“Mama saya kecapean,
boleh istirahat sebentar?” tanyaku ramah.
“Oh, boleh kok. Mau saya ambilkan minum?”
Aku hanya mengangguk
kepala, lalu aku menatap wajah mamaku yang pucat. Ya Tuhan, sudah lama aku tak
melihat wajah mama. Banyak sekali perubahannya. Lebih pucat, lebih sayu, dan
lebih kurus. Mama, akankah kau memaafkan anakmu yang durhaka ini?
“Ini mbak.”
Setelah mengucapkan
terima kasih, langsung kuberikan
air putih itu untuk mama. Kelihatannya beliau sudah agak tenang.
“Fira… mama nggak nyangka bisa ketemu kamu. Mama seneng banget. Dan kamu
tahu, mama nggak percaya waktu kamu bilang ke waitress kalau saya adalah mama kamu, mama seneng, sampai nggak bisa bicara….” Napas mama tersendat. Lalu batuk.
“Pelan-pelan, bicara satu-satu…” kataku.
Mama terdiam.
Berkali-kali beliau mengambil napas panjang sepertinya ada banyak kata yang
akan maam keluarkan. Lebih baik aku dulu yang bicara.
“Mama, sebelumnya,
Fira…. mau….mau… minta maaf. Fira sadar kalau Fira selalu egois. Fira terlalu
membutakan diri….”
Tiba-tiba tangan mama
mengelus pundakku. Wajahnya tersenyum padaku. Senyum yang selama ini
kurindukan.
“Harusnya mama yang minta maaf, semua ini salah mama. Andai mama tidak
terlalu cemburu pada papamu
dan mama bisa menahan emosi, semua ini takkan terjadi…..” kata mama pelan
dengan senyum getir di wajahnya.
“Maksud mama apa?” tanyaku tak mengerti.
“Sepertinya mama harus
menjelaskan semuanya, tapi maukah kamu jika kita ngobrol sambil makan brownis?”
Aku mengangguk kemudian
mama memesan brownis almond dalam porsi besar dan secangkir teh manis. Wah, aku
seneng banget!
“Kamu masih ingat penyebab mama dan papa bertengkar?” kata mama sambil memakan brownisnya.
“Ya, karena mama
ketahuan selingkuh sama orang lain …” kataku.
Mama tersenyum. Tangannya berhenti memotong kue. Matanya menatap ke luar
jendela dengan hampa.
“Seminggu sebelumnya,
mama lihat papa kamu jalan dengan seorang wanita. Dan ketika mama tanya, papa
kamu mengelaknya …. lalu mama balas dendam. Mama jalan dengan teman pria mama
dan papa kamu nggak terima. Dan kamu tahu sendirikan kelanjutannya? Kami berdua
bertengkar hebat dan papamu keluar rumah menggunakan mobil dengan kecepatan
tinggi. Pasti beliau sangat marah, sampai-sampai tidak tahu kalau ada truk
besar di depannya. Padahal truknya berhenti, seharusnya papa kamu bias
menghindarinya, bukan menabaraknya…” suara mama seperti bicara sendiri pelan.
“Udahlah,
Ma, pasti papa ngerti semuanya, papa kan cinta banget sama mama, pasti
beliau bisa maafin semuanya,”
hiburku.
“Mama juga selalu
berdoa begitu. Bagaimanapun juga,
cinta mama hanya untuk papa. Dan mama yakin kalau papa hanya mencintai mama….”
Semua terasa jelas
bagiku. Tak ada yang salah, hanya menurutku papa dan mama terlalu cinta hingga
mereka tak mau mengalah. Seperti anak kecil saja!
“Kata eyang, mama
sakit…” aku tak berani melanjutkan kalimatku, aku terlalu takut.
“Kanker otak,” jawab mama tegas. “Mungkin ini
karma untuk mama karena tak mau memaafkan papa…”
“Mama! Ini takdir,
bukan karma!” kataku.
Mama memandangku sayu,
lalu kemudian mengangguk. Setelah itu aku dan mama ganti topik. Banyak yang
kami bicarakan. Dari sekolah, eyang, papa, sampai Faisal. Aku seneng banget, tapi juga takut banget.
Waktu mama tinggal sedikit. Kankernya sudah menyebar.
“Maafin semua kesalahan
mama ya, mama selalu takut ketemu sama kamu. Mama takut tak akan mendapat maaf
darimu…”
“Udahlah,
Ma, Fira juga minta
maaf,” kataku sambil
tersenyum.
“Sampaikan salam mama buat eyang, baik-baik ya sama Faisal. Mama pernah
ketemu sama dia, anaknya baik,”
kata mama.
“Mama apaan sih! Faisal itu nyebelin,” kataku kesal.
“Ngeselin kok merah
mukanya….” goda mama.
Aku diam. Kulahap
sepotong besar brownies. Mama hanya tertawa senang. Tapi itu tak berlangsung
lama, sedetik kemudian mama batuk dan jatuh pingsan!
“Mama ...!!!!!”
***
“Udahlah, Ra….ntar
mamamu nggak bisa tenang kalau kamu nangis terus,” kata Faisal.
Aku hanya diam dan terus mengeluarkan air mata. Begitu cepat waktu
berlalu. Padahal aku masih
pengen sama mama. Padahal kami baru aja baikan! Kenapa Tuhan lakukan ini
kepadaku!?!
“Ra, jangan nangis
dong!” kata Faisal lagi.
“Kamu tau, Fai?” Aku bicara
dengan nada rendah, tapi Faisal memperhatikanku,
”Aku seneng banget karena aku masih sempet minta maaf, aku masih sempet lihat mama ketawa… Aku nggak menyesali semuanya, hanya saja
aku terlalu ngrasa berat buat lepas mama…”
Tiba-tiba Faisal duduk
di sofa sampingku dan mengambilku dalam pelukannya. Aku hanya menurut, tenagaku udah habis….
“Semua ini takdir, Ra. Kita nggak bisa berbuat banyak, kita hanya
bisa berusaha. Dan aku yakin, ini
adalah yang terbaik,” kata Faisal lembut.
“Kok kamu jadi lembut
gini sih?” tanyaku sambil melepas pelukan Faisal.
“Aku cuma nggak mau
lihat kamu nangis…”
“Emang kenapa kalau aku
nangis, bukan urusan kamukan…?”
“Aku suka kamu, Ra!” kata
Faisal sambil memalingkan wajahnya.
Aku melongo keheranan.
Nggak nyangka akan mendapat pengakuan cinta setelah mama meninggal.
“Kamu suka aku, Ra?” tanya Faisal pelan.
Kuberikan senyum termanisku. Bolehkah aku bahagia secepat ini?
“Fira, aku tahu kalau
kamu pasti masih berduka, aku akan nunggu sampai kamu siap,” kata Faisal sambil memelukku. Aku hanya
tersenyum. Tuhan, terimakasih…
***
Irma Fatmaningrum
XI Jasa Boga 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar