Sabtu, 14 Januari 2012

Cepen Siswa SMK N 6 Yogyakarta VI (KKN 2010)



 
Cerpen Keenam
MAAF UNTUK MAMA

Kata orang, Surga itu ada di telapak kaki ibu. Tapi apakah kalau ibunya kejam, tak berperasaan masih ada surga di telapak kakinya? Memang sih, mamaku tidak menyuruhku bekerja keras. Bahkan berkata kasar pun belum pernah kurasa. Tapi kenapa aku begitu membencinya? Karena mamaku sudah merusak kebahagiaan hidupku….
***
“Fira, ayo sarapan….” sebuah suara yang amat aku kenal terdengar dari depan kamarku.
“Bentar, Yang….” jawabku sambil mengenakan dasi hitam yang wajib aku pakai tiap hari Senin.
Setelah yakin dengan penampilanku, kuambil tas babyblue yang sudah aku isi dengan buku pelajaran. Hari Senin yang baru di bulan yang baru. Juli, I love you!
“Kenapa dari tadi senyum-senyum sendiri?” tanya eyang sambil menatapku heran. Takut kalau cucu kesayangannya ini gila mungkin.
“Sudah nggak waras mungkin eyang,kata Faisal cucu sahabat eyang yang setiap pagi datang untuk makan pagi. Orang tuanya ada di luar kota dan dia sendiri di rumah. Karena dia cucu sahabat eyang, maka eyang menyuruhnya sarapan di sini. Nyebelin deh!
“Enak aja! Kamu itu yang nggak waras. Udah punya pembantu di rumah masih numpang makan….” kataku kesal.
“Aku cuma diminta eyang kok,kata Faisal enteng.
“Dasar, nggak punya malu!”
“EHM!!”
Eyang menghentikan perang mulut yang selalu terjadi jika Faisal membuka mulut. Heran deh, selalu saja aku nggak pernah bisa akur dengan cowok di depanku ini. Padahal kalau dengan cewek lain, Faisal akrab banget.
Fira…..!!” Eyang menatapku lekat-lekat, aku jadi takut dibuatnya.
“Apa kamu gila?” tanya eyang tanpa aku duga.
Langsung saja Faisal tertawa keras. Tentu saja ia merasa senang karena eyang mendukungnya, nyebelin!
Eyang….Fira senyum-senyum dari tadi karena ini adalah bulan Juli! Bukan karena gila…” jelasnya kesal.
“Memang ada apa di bulan Juli?” tanya Faisal penasaran.
“Ada kucing mati di depanmu!” kataku.
Wajah Faisal langsung marah. Aneh deh, masak cowok takut sama kucing. Dasar, nggak jantan.
“Ayo… sudah 06.30. Kalian nanti terlambat,” ujar eyang mengingatkan kami berdua.
Aku mengangguk cepat. Setelah segelas susu masuk ke perutku, aku segera berpamitan. Dan sekali lagi, Faisal merusak hari Seninku. Eyang menyuruhnya mengantarku! Sial, kenapa aku malah ngrasa beruntung sih…
***
Sore itu, seperti biasa, aku membantu eyang menyiram taman di belakang rumah.
“Bulan ini umurmu sudah 16 tahun kan?” tanya eyang.
“Ya…”
“Kalau begitu sudah 4 tahun kamu tinggal di sini, dan itu berarti sudah 4 tahun juga kamu sudah meninggalkan rumah. Apa kamu tak merasa sedih? Kangen dengan mamamu?”
Kangen? Nggak ada rasa itu di hatiku,” kataku sambil menggenggam erat selang hijau di tanganku. Sebenarnya ada rasa kangen dalam hatiku. Kangen sama mama, tapi rasa benciku mengalahkan semuanya.
***
“Eyang belum pulang, Ra?” tanya Faisal yang datang untuk makan siang.
“Belum, “ jawabku malas.
Kenapa sih cowok ini, akhir-akhir ini sering mampir ke rumah! Jangan-jangan dia mau PDKT- ma aku…!
“Aku dengar hubungan kamu sama mama kamu nggak baik ya, kenapa?”
Aku menatap Faisal. Pasti eyang yang cerita. Kenapa sih eyang harus bilang hal ini ke cowok yang bernama Faisal?! Dia kan bisa memojokkanku habis-habisan. “Marahan lebih dari 3 hari itu dosa lho, apalagi sama orang yang udah melahirkan kita ke dunia ini, bisa kualat… kamu nggak takut kalau tiba-tiba jadi batu kayak Malin Kundang?” tanya Faisal.
Aku terus diam. Kenapa cowok seperti ini yang aku harapkan jadi orang yang aku sayang?!  Kenapa aku bisa suka dengan cowok seperti Faisal?!
Mendingan kamu minta maaf deh, kamu itu cewek. Lagian apa susahnya minta maaf doang…”
“Diam!!!” aku memotong kalimat Faisal.Aku mau minta maaf atau bukan, itu urusanku! Tolong jangan ikut campur urusanku… Jangan sampai aku tambah benci sama kamu!” kataku sambil berlari ke kamar.
Seharian aku mengurung diri di kamar. Memikirkan perkataan Faisal. Minta maaf? Bukankah itu yang harus mama lakukan kepadaku? Karena mama yang sudah menghancurkan hidupku.
Aku masih ingat hari itu. Hari saat mama dan papaku bertengkar karena papa memergoki mama keluar dengan pria lain. Hari di mana pertama kalinya aku mendengar suara keras papa dan mama keluar. Hari di mana aku terakhir melihat wajah papa….
“Fira…Fira…ayo keluar sayang…”
Aku segera menghapus air mata yang jatuh ke pipiku. Eyang nggak boleh tahu kalau aku menangis.
“Ada apa eyang?” tanyaku.
“Kata Faisal, kalian tadi bertengkar?” tanya eyang balik.
“Iya. Habis dia nyebelin…sok ikut campur urusanku. Pasti eyang yang kasih tau dia tentang masalahku dan mama, kan? Eyang gimana sih, kan eyang tahu kalau aku dan Faisal itu nggak pernah akur….”
“Maaf, eyang kelepasan….kamu sudah makan malam?” tanya eyang.
Belum.”
Makan yuk.”
Ada yang aneh denagn sikap eyang malam ini. Biasanya beliau paling suka bicara saat makan malam. Entah apa saja. Tapi malam ini eyang banyak diam. Bahkan melamun.
“Eyang sakit?” tanyaku.
Duduklah…eyang mau bicara sesuatu” kata eyang.
Dengan tanda tanya di kepalaku, aku mengangguk. Pasti ada sesuatu yang teramat penting. Muka eyang tampak sedih sekali. Dan aku yakin, ini pasti sesuatu hal yang buat eyang terluka.
“Tadi…….eyang ketemu sama mama kamu…”
Jantungku langsung berdetak kencang mendengar hal ini. Eyang ketemu sama mama kok sedih? Padahal biasanya eyang seneng banget kalau ketemu mama. Maklum, mamaku orang yang sibuk, jadi sulit buat ketemuannya.
“Ketemu…mama?” tanyaku untuk memastikan pendengaranku.
“Iya… di rumah sakit,” jawab eyang sambil menggenggam erat minumnya.
“Di… rumah sakit? Eyang ngapain di rumah sakit?” tanyaku
“Cek seperti biasa. Tapi mamamu ada di sana. Dan kau tahu apa penyakit yang sedang  diderita oleh mamamu?” tanya eyang.
Aku hanya menggeleng. Setahuku mama jarang sakit. Dan rumah sakit? Parahkah penyakitnya?
“Kanker otak.
Tiba-tiba saja aku seperti merasa dalam ruangan yang kosong. Hampa. Sendiri. Sakit. Apa telingaku tak salah dengar? Kanker otak?! Bukankah itu suatu penyakit yang menyakitkan? Dan mamaku?! Apa tak salah ….
“Kan…ker otak?” tanyaku tak percaya.
“Iya. Kanker otak stadium akhir.”
Kepalaku serasa dipukul dengan benda berat. Mamaku? Kanker stadium akhir?
“Fira…kamu tidak mau menemui mamamu?” tanya eyang hati-hati.
Aku menundukkan kepala. Jujur, setelah mendengar mama terkena kanker otak, ada rasa sedih dalam hatiku. Tapi haruskah aku menemui beliau? Orang yang telah merusak hidupku. Orang yang telah memisahkan aku dari papa. Orang yang telah membunuh papaku…
“Fira.. apakah kamu masih belum bisa memaafkan mamamu?”
“Nggak tahu, Yang… Fira masih nggak bisa nglupain semuanya…”
Tiba-tiba kurasakan tangan eyang mengelus pundakku. Mungkin beliau dapat merasakan kegalauan hatiku.
“Tapikan mama udah minta maaf,” kata eyang.
“Minta maaf? Fira nggak akan nganggep itu sebagai permintaaan maaf sebelum mama datang sendiri!” kataku.
Mama memang selalu minta maaf, tapi lewat eyang. Beliau nggak pernah minta maaf langsung. Mungkin mama emang nggak sayang ma aku. Dan mungkin mama udah nggak butuh aku lagi. Buktinya, beliau bunuh papaku dan nggak pernah minta maaf.
“Udah malem, tidur sana,” kata eyang sambil berdiri.
Aku mengangguk. Setelah mencuci piring makan, aku kembali ke kamar. Perlahan aku buka jendela kamarku. Dengan celana panjang dan jaket, aku keluar menuju balkon kamarku. Angin malam langsung menyambutku. Dingin.Sepi.
Hei…”
Wajah tengil Faisal langsung terlihat begitu aku menolehkan kepalaku. Rumahnya memang berdekatan denganku. Dan kamarnya sama, di lantai atas sepertiku. Tapi kenapa dia bisa tahu kalau aku sedang duduk di sini?! Wah, aku jadi GR-nih
Ngapain kamu ke sini?” tanyaku sedikit malas.
“Inikan rumahku,” kata Faisal.
Dalam hati aku meruntuki kebodohanku. Faisal kan berdiri di balkon rumahnya. Tapi tetap saja aku tak mau berbaikan dengannya. Malas.
“Kok diam?” tanya Faisal.
“Kenapa kau keluar? Nggak ngantuk?”
Lama. Tak ada jawaban dari Faisal. Kenapa dia tiba-tiba diam? Apa dia sudah masuk kamarnya? Tapi nggak kedengaran suara pintu ditutup tuh!
“Dulu aku juga pernah marah sama orang tuaku…”
Aku menoleh. Ternyata Faisal sudah duduk di kursi sampingku.
“Papa dan mama sering banget keluar kota. Aku pikir itu karena mereka nggak sayang sama aku, mereka tak pernah menginginkan aku ada. Aku seperti patung bagi mereka….” Faisal diam mengambil nafas panjang. Lalu dia melanjutkan lagi,
“Tapi aku sadar, mereka bukan tak menginginkan aku. Tapi mereka sangat sayang padaku. Mereka ingin buat aku bahagia.. Dan aku mulai mencoba untuk mengerti mereka.”
Aku termenung. Tak kusangka Faisal yang nyebelin ini punya kehidupan yang pahit. Aku kira dia nggak pernah mikirin kedua orang tuanya yang selalu pergi keluar kota.
Fira….”
Apa…”
“Aku emang nggak tahu apa-apa tentang masalah kamu sama mama kamu, tapi aku mau bilang, semua orang pernah nglakuin kesalahan, dan kita nggak boleh menghakimi mereka. Kita harus maafin mereka. Tuhan aja bisa maafin hambanya, masak kita yang manusia nggak mau memaafkan. Padahal kan kita hanya makhluk biasa dan kita itu sama.”
“Aku bukan Tuhan!”
“Fira…, tapi kasihan mama kamu!”
“Aku bukannya nggak mau maafin mama, mama yang nggak menginginkan aku!” kataku setengah menahan tangis. Kenapa seperti ini. Kenapa aku jadi disalahkan terus!
Memangnya kamu pernah denger mama kamu bilang kayak gitu?!”
“Udahlah, aku capek debat terus sama kamu!”
Setelah berkata seperti itu, aku masuk ke kamar. Kutinggalkan Faisal sendiri di balkon rumahku.
            ***
Matahari pagi yang lembut menerpa wajahku. Sudah dari jam 05.00 pagi aku meninggalkan rumah eyang tanpa pamit. Aku pengen nenangin diri. Mungkin eyang dan Faisal benar. Aku yang harusnya datang ke mama dan minta maaf. Atau seenggaknya aku beri mama kesempatan untuk minta maaf. Aku memang anak durhaka!
“OK! Aku akan minta maaf!” seruku sambil mengepalkan tangan.
Dalam perjalanan pulang ke rumah eyang, aku sudah berencana kalau hari minggu ini aku akan ke rumah mama. Beliau pasti ada di rumah kalau hari minggu.
Tunggu! Kenapa tak sekarang saja. Kan bisa kasih kejutan buat eyang. Lagian rumah mama deket. Cuma beda blok. Enaknya bawa apa ya ....??
“Aha! Brownies coklat, mama suka banget….” ucapku sendiri.
Untung saja di sekitar kompleks ada cake house yang buka 24 jam.
Aduh!!!!!…”
Tanpa sengaja aku menabrak seseorang yang baru keluar dari cake house itu. Aduh, saking semangatnya……..
“Fira ...??
Deg! aku kenal banget suara ini. Suara yang selalu hadir dalam mimpiku. Suara yang selalu kurindu. Suara yang…
Mama ....?!”
Tiba-tiba tubuh mama akan jatuh, aku segera menangkapnya. Tanpa pikir panjang aku langsung membawa beliau masuk ke dalam cake house, dan mendudukkan beliau.
“Ada apa mbak?” tanya salah satu penjaga cake house.
“Mama saya kecapean, boleh istirahat sebentar?” tanyaku ramah.
“Oh, boleh kok. Mau saya ambilkan minum?”
Aku hanya mengangguk kepala, lalu aku menatap wajah mamaku yang pucat. Ya Tuhan, sudah lama aku tak melihat wajah mama. Banyak sekali perubahannya. Lebih pucat, lebih sayu, dan lebih kurus. Mama, akankah kau memaafkan anakmu yang durhaka ini?
“Ini mbak.”
Setelah mengucapkan terima kasih, langsung kuberikan air putih itu untuk mama. Kelihatannya beliau sudah agak tenang.
“Fira… mama nggak nyangka bisa ketemu kamu. Mama seneng banget. Dan kamu tahu, mama nggak percaya waktu kamu bilang ke waitress kalau saya adalah mama kamu, mama seneng, sampai nggak bisa bicara….” Napas mama tersendat. Lalu batuk.
“Pelan-pelan, bicara satu-satu…” kataku.
Mama terdiam. Berkali-kali beliau mengambil napas panjang sepertinya ada banyak kata yang akan maam keluarkan. Lebih baik aku dulu yang bicara.
“Mama, sebelumnya, Fira…. mau….mau… minta maaf. Fira sadar kalau Fira selalu egois. Fira terlalu membutakan diri….” 
Tiba-tiba tangan mama mengelus pundakku. Wajahnya tersenyum padaku. Senyum yang selama ini kurindukan.
“Harusnya mama yang minta maaf, semua ini salah mama. Andai mama tidak terlalu cemburu pada papamu dan mama bisa menahan emosi, semua ini takkan terjadi…..” kata mama pelan dengan senyum getir di wajahnya.
“Maksud mama apa?” tanyaku tak mengerti.
Sepertinya mama harus menjelaskan semuanya, tapi maukah kamu jika kita ngobrol sambil makan brownis?”
Aku mengangguk kemudian mama memesan brownis almond dalam porsi besar dan secangkir teh manis. Wah, aku seneng banget!
“Kamu masih ingat penyebab mama dan papa bertengkar?” kata mama sambil memakan brownisnya.
“Ya, karena mama ketahuan selingkuh sama orang lain …” kataku.
Mama tersenyum. Tangannya berhenti memotong kue. Matanya menatap ke luar jendela dengan hampa.
Seminggu sebelumnya, mama lihat papa kamu jalan dengan seorang wanita. Dan ketika mama tanya, papa kamu mengelaknya …. lalu mama balas dendam. Mama jalan dengan teman pria mama dan papa kamu nggak terima. Dan kamu tahu sendirikan kelanjutannya? Kami berdua bertengkar hebat dan papamu keluar rumah menggunakan mobil dengan kecepatan tinggi. Pasti beliau sangat marah, sampai-sampai tidak tahu kalau ada truk besar di depannya. Padahal truknya berhenti, seharusnya papa kamu bias menghindarinya, bukan menabaraknya…” suara mama seperti bicara sendiri pelan.
“Udahlah, Ma, pasti papa ngerti semuanya, papa kan cinta banget sama mama, pasti beliau bisa maafin semuanya,” hiburku.
“Mama juga selalu berdoa begitu. Bagaimanapun juga, cinta mama hanya untuk papa. Dan mama yakin kalau papa hanya mencintai mama….”
Semua terasa jelas bagiku. Tak ada yang salah, hanya menurutku papa dan mama terlalu cinta hingga mereka tak mau mengalah. Seperti anak kecil saja!
“Kata eyang, mama sakit…” aku tak berani melanjutkan kalimatku, aku terlalu takut.
Kanker otak,” jawab mama tegas. “Mungkin ini karma untuk mama karena tak mau memaafkan papa…”
“Mama! Ini takdir, bukan karma!” kataku.
Mama memandangku sayu, lalu kemudian mengangguk. Setelah itu aku dan mama ganti topik. Banyak yang kami bicarakan. Dari sekolah, eyang, papa, sampai Faisal. Aku seneng banget, tapi juga takut banget. Waktu mama tinggal sedikit. Kankernya sudah menyebar.
“Maafin semua kesalahan mama ya, mama selalu takut ketemu sama kamu. Mama takut tak akan mendapat maaf darimu…”
“Udahlah, Ma, Fira juga minta maaf,kataku sambil tersenyum.
“Sampaikan salam mama buat eyang, baik-baik ya sama Faisal. Mama pernah ketemu sama dia, anaknya baik,” kata mama.
“Mama apaan sih! Faisal itu nyebelin,” kataku kesal.
“Ngeselin kok merah mukanya….” goda mama.
Aku diam. Kulahap sepotong besar brownies. Mama hanya tertawa senang. Tapi itu tak berlangsung lama, sedetik kemudian mama batuk dan jatuh pingsan!
Mama ...!!!!!”
***
Udahlah, Ra….ntar mamamu nggak bisa tenang kalau kamu nangis terus,” kata Faisal.
Aku hanya diam dan terus mengeluarkan air mata. Begitu cepat waktu berlalu. Padahal aku masih pengen sama mama. Padahal kami baru aja baikan! Kenapa Tuhan lakukan ini kepadaku!?!
“Ra, jangan nangis dong!” kata Faisal lagi.
“Kamu tau, Fai?” Aku bicara dengan nada rendah, tapi Faisal memperhatikanku, ”Aku seneng banget karena aku masih sempet minta maaf,  aku masih sempet lihat mama ketawa… Aku nggak menyesali semuanya, hanya saja aku terlalu ngrasa berat buat lepas mama…”
Tiba-tiba Faisal duduk di sofa sampingku dan mengambilku dalam pelukannya. Aku hanya menurut, tenagaku udah habis….
“Semua ini takdir, Ra. Kita nggak bisa berbuat banyak, kita hanya bisa berusaha. Dan aku yakin, ini adalah yang terbaik,” kata Faisal lembut.
“Kok kamu jadi lembut gini sih?” tanyaku sambil melepas pelukan Faisal.
“Aku cuma nggak mau lihat kamu nangis…”
“Emang kenapa kalau aku nangis, bukan urusan kamukan…?”
“Aku suka kamu, Ra!” kata Faisal sambil memalingkan wajahnya.
Aku melongo keheranan. Nggak nyangka akan mendapat pengakuan cinta setelah mama meninggal.
“Kamu suka aku, Ra?” tanya Faisal pelan.
Kuberikan senyum termanisku. Bolehkah aku bahagia secepat ini?
“Fira, aku tahu kalau kamu pasti masih berduka, aku akan nunggu sampai kamu siap,” kata Faisal sambil memelukku. Aku hanya tersenyum. Tuhan, terimakasih…
***





Irma Fatmaningrum
XI Jasa Boga 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar