Sabtu, 14 Januari 2012

Cepen Siswa SMK N 6 Yogyakarta IX (KKN 2010)


 
Cerpen Kesembilan
PERTEMUAN, KENANGAN, DAN PERPISAHAN

“Rio”. Tiga rangkaian huruf itu keluar dengan sempurna dari mulutnya. Tangan yang terulur itu masih saja menunggu tangan lain untuk menyambutnya. Dengan agak canggung, ku raih uluran itu. “Nashwa”, kusebutkan namaku lirih. Namun aku yakin, dia pasti bisa mendengarnya. Ia melepaskan jabatan tanganku, tersenyum lebar, dan berlari pergi memasuki gerbang.
Ya, itulah awal dari pertemuanku dengannya. Ah, pertemuan, dari dulu aku paling benci hal itu. Aku tahu ini aneh, tapi biarlah. Aku punya alasan untuk tidak menyukainya. Karena bagaimanapun manisnya, ujungnya juga pasti akan menyakitkan. Dan pastinya akan selalu menghantuiku dengan kenangan-kenangan, jika telah terjadi perpisahan. Iya kan?
Aku melangkah memasuki gerbang itu. Gerbang besar bertuliskan “Rumah Sakit Jiwa Cinta Kasih”. Tak berapa lama berjalan, aku berhenti di sebuah ruangan. Menatap pintu itu sebentar, dan memasukinya.
Seorang wanita paruh baya tengah duduk di sebuah kursi. Ia tampak sibuk dengan kertas-kertas yang hampir menutupi permukaan mejanya, namun tak cukup untuk menutup prisma panjang yang menjelaskan kedudukannya sebagai direktur di tempat ini. “Siang tante,” sapaku padanya. “Nashwa? Ada keperluan apa, Nak?” Ia terlihat terkejut dengan kedatanganku. Aku membuka tasku, dan menyodorkan selembar kertas padanya. “Harus ditandatangani wali.” Ucapku ketika ia membaca permohonan izin dari sekolah. “Jadi kamu mau study tour? Masih ada yang kurang, Nak, keperluannya?”, tanyanya ketika selesai memberi tanda tangan. “Tidak tante, Nashwa langsung pulang saja ya, Tante,” jawabku sekaligus pamit. “Lhoh, buru-buru sekali. Tapi ya sudah, hati-hati ya nak.” Ia berpesan padaku. Aku hanya tersenyum dan pergi.
Aku tak mau berlama-lama mengganggunya, apalagi merepotkannya. Tante Lisna, begitu aku biasa memanggilnya, memang satu-satunya waliku. Beliau sudah terlalu baik padaku, mengingat tak banyak orang yang mau memungut anak yang ditinggal mati orang tuanya, dan dijadikan sebagai anak angkat. Bila tak ada beliau, mungkin nasibku hanya akan berakhir di panti asuhan. Yah, walaupun sampai saat ini aku juga tak tinggal serumah dengannya.
Lamunanku membuyar ketika seseorang tiba-tiba berdiri di hadapanku. “Ish, mengganggu saja,” batinku. Ketika aku mendongakkan wajahku, senyuman itu lagi yang aku dapati. Senyuman yang yah, aku akui cukup manis. “Rio?” aku mencoba memastikan namanya. Laki-laki berpakaian biru langit itu menarikku. Aku tak bisa menolak, genggamannya begitu kuat. Ia membawaku ke salah satu bangku di lorong rumah sakit. Hatiku cukup ngeri melihat tingkah-tingkah “ajaib” orang-orang di sekitarku.
Dalam pikirku, aku ingin secepatnya meninggalkan tempat ini. “Mau jadi teman Rio?” ucapnya, pertanyaan yang cukup mengagetkanku. Aku bingung. “Apa yang dia inginkan?” batinku. Raut mukanya penuh harap. Dan, akhirnya aku memberikan sebuah anggukan.
“Yee….ye….ye….” teriaknya sambil meloncat-loncat kegirangan. Dan kejadian selanjutnya, membuatku semakin tercengang. Matanya meneteskan air mata, dan ia mendorongku keras, kemudian berlari pergi menjauhiku. Aku hampir lupa, pakaian biru langitnya itu juga menandakan bahwa ia salah satu manusia “ajaib” penghuni rumah Cinta Kasih ini.
“Namanya Rio, penghuni rumah sakit ini sejak 3 bulan lalu,” tanpa kusadari Tante Lisna sudah berdiri di belakangku. “Dia seumuran denganmu, dan dititipkan di sini oleh orang tuanya sendiri,” lanjut tante Lisna. “Mengapa Rio jadi seperti itu, Tante?” Entah mengapa aku ingin tau lebih jauh tentangnya. “Dia depresi karena merasa bersalah, tanpa sengaja, ia mendorong adik perempuannya hingga kepalanya terbentur dan, meninggal.” Aku tercekat mendengar penjelasan Tante Lisna. Dan aku merasa iba ketika mengetahui orang tuanya membuang Rio ke sini karena malu mempunyai anak, ehm, gila. Satu lagi fakta yang membuatku semakin iba terhadapnya, Rio menderita disleksia.
***
Aku tak tahu mengapa hari ini aku kembali ke tempat “ajaib” ini lagi. Padahal, aku tak mempunyai satu urusanpun dengan tante Lisna. Tapi aku ingin bertemu dengan anak bernama Rio itu lagi. Bagiku cukup menarik untuk berteman dengannya, setelah aku mengetahui sebagian cerita hidupnya.
Tak sulit untukku menemukannya. Ia sedang duduk termenung di bangku itu lagi. Bangku di mana ia mendorongku kemarin. Dengan langkah mantap aku menghampirinya. Tak seperti kemarin, ia tak bereaksi apapun dengan kedatanganku.
“Mau permen?” ujarku sambil menyodorkan beberapa bungkus permen padanya. Ia masih tak bereaksi. Aku masih bersabar. Tanpa sadar, kupandangi wajahnya lekat-lekat. Matanya, sama seperti mataku saat itu, saat aku merasa dunia bukan tempatku lagi. Karena aku, merasa hanya sendiri. Aku kaget ketika ia memelukku tiba-tiba, menangis sesenggukan, dan membuatku ikut meneteskan air mata ketika ia menyebutkan satu kata “ibu……..”
***
Sudah beberapa hari ini aku rutin mengunjunginya. Aku merasa sama dengannya. Bukan hanya sekedar iba. Aku ingin dia, sedikit bahagia. Dan setiap kali datang, yang aku inginkan hanya melihat senyumnya. Itu saja.
Hari ini pun aku datang. Aku senang sudah mulai akrab dengannya. Ia mau membagi cerita-cerita konyol khayalannya padaku. Yang membuatku tertawa, ia menganggap cerita anehnya itu nyata. Hihi,,, lucu ya. Yah, walaupun tak jarang tiba-tiba dia berlaku “ajaib” dan seenaknya pergi saat aku tengah mengajaknya bicara.
“Rio mau cari ibu,” ucapnya tiba-tiba ketika kami sedang duduk di bangku itu lagi. “Hati-hati ya Rio, kalo ibu udah ketemu nanti jangan lupa kenalin sama Nashwa, oke?” jawabku. Dia hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Sebenarnya cukup sulit bagiku memberikan jawaban, karena aku tahu dia tak mungkin bisa keluar dari tempat ini, jika bisa sekalipun aku tak menjamin ibunya akan menerimanya dengan baik. Bagiku, ini seperti memberikan harapan kosong padanya.
Aku sadar aku sedikit lebih beruntung darinya. Setidaknya, aku ditinggalkan orang tuaku karena kehendak Tuhan, bukan karena “dibuang”. Dan aku juga masih punya tante Lisna yang menyayangiku.
“Aaaarrrgggghhhh!!!!!!!!” teriakan itu membuatku terkejut. Aku melangkah cepat menuju ruangan Tante Lisna. Dan dalam sekejap Tante Lisna membawa Rio pergi. Tentu saja, ke rumah sakit umum. Lagi-lagi, penyakit itu semakin mengikis tubuh Rio.
***
Aku kembali ke rumah sakit siang itu, setelah dua hari aku tak berkunjung karena harus ikut serta dalam study tour sekolah. Agak aneh, aku tak menemukannya di bangku biasanya atau di manapun. Apa mungkin Rio dirawat di rumah sakit umum? Atau malah sudah dijemput keluarganya? Mungkin agak berlebihan, tapi hatiku benar-benar tak tenang. Mengingat kondisinya ketika aku terakhir kali bertemu dengannya.
Dengan tergesa-gesa aku menuju ruangan Tante Lisna. “Nashwa,” sapa Tante Lisna ketika aku memasuki ruangan. “Maaf Tante, apa Rio sudah dijemput keluarganya?” tanyaku. Tante Lisna tampak ragu menjawab pertanyaanku. Beliau mendekatiku perlahan dan mengatakan sesuatu yang sungguh sampai kapanpun aku tak ingin mendengarnya.
***
Aku memasuki rumah tak beratap itu. Berharap tak bisa menemukan apa yang sesungguhnya aku cari. Tapi sayang, aku tak butuh waktu lama untuk menemukan benda itu. Sebuah papan kayu bertuliskan “Ditya Rio Pratama” terpampang jelas didepanku. Ya, akhirnya dia menemukan rumah abadinya. Dan mungkin dia sudah menemukan banyak kebahagiaan dari Tuhan, bukan hanya secuil seperti apa yang aku berikan padanya.
Bukan, bukan karena penyakit yang menyiksa raganya itu, tapi karena kemauan kerasnya untuk bertemu dengan ibunya. Hingga akhirnya ia harus berakhir dalam lindasan sebuah truk laknat. Tepat di saat aku tak menemaninya. Aku tak menyalahkannya. Yang aku sesali adalah diriku. Aku, yang menganggap tekadnya pergi itu hanya bualan. Yah, mungkin karena aku tak tahu kasih sayang sesungguhnya antara seorang anak dengan ibunya, ibu kandungnya.
Aku tersenyum pahit menatap papan kayu itu. Jadi, siapa sekarang yang sebenarnya harus dikasihani? Anak laki-laki “ajaib” bernama Rio, yang bahkan rela mati untuk mencari ibu yang bahkan tak mau tahu tentangnya. Atau aku? Orang yang selalu ditinggalkan. Yang bahkan tak tahu untuk apa dia hidup, bila hanya sendirian.
Hey Rio, jahat sekali kau seenaknya pergi. Aku belum selesai bercerita padamu, aku masih ingin mendengar cerita gilamu, aku masih mau melihat tingkah “ajaib”mu. Dan tentu saja, aku belum bosan untuk menunggu senyummu. Huh, lagi-lagi pertemuan membuatku menangis.
Tak kusangka air mataku menetes untuk manusia semacam Rio. Tuhan, mungkinkah aku akan menggantikan Rio untuk menjadi penghuni rumah Cinta Kasih itu? Terus duduk di bangku, dan menunggu hingga ada yang datang  memberikan senyumannya. Entahlah.
Setidaknya, kehadiran Rio memberiku gambaran. Betapa besar cinta seorang anak pada ibunya. Yang sudah aku katakan, aku sudah lupa rasanya punya ibu, jadi, aku tak tahu. Dan lagi, setiap orang butuh dicintai, bahkan orang ajaib seperti Rio, ataupun sesorang yang tak tahu caranya menyayangi, seperti aku.
***


Devie Lya Saraswati
XI Busana Butik 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar