|
SELAMAT TINGGAL UNTUK IBU
Seperti biasanya, pagi ini ibu
mengajakku berdoa pada Tuhan karena masih memberikanku hidup sampai saat ini. Setelah selesai berdoa kami kembali
melanjutkan pekerjaan kami, mencari barang yang sudah tidak terpakai lagi, di
pinggir-pinggir jalan, toko, dan, di semua tempat yang kami lewati. Dan barang
itu kami jual untuk hidup hari ini.
Ketika sang surya mulai berkuasa, pelan-pelan jemari
ibuku mulai mengusap lembut pipiku. Tapi di suatu pagi ibuku tak lagi membangunkanku dengan
sentuhannya. Ibuku tak lagi tersenyum, tangannya masih memeluk tubuh mungilku.
Aku tak tahu mengapa ibu terus memelukku. Aku hanya tahu, wajah ibuku begitu
manis untuk wajah seorang ibu. Lalu aku tertidur dalam pelukan hangat ibuku,
dengan kehangatan yang menyelimutiku dan dengan kedamaian.
Pernah suatu kali aku melihat ibu tertidur dengan air
mata yang berlinang di pipinya. Aku masih terpaku menatap nuansa malam di tepi
jalan. Ketika aroma malam yang membawa memoriku terbang bersama masa laluku.
Masa lalu bersama ibuku. Masa lalu yang begitu pahit bagiku. Masa lalu yang
memaksa jiwaku untuk merindukan ibuku. Ibuku selalu bercerita tentang indahnya
malam dan damainya malam. Selama ini ibu bercerita, aku hanya memandang langit
berintik itu.
Ibu tak lagi mengajakku untuk
berdoa. Yang kulihat wajah ibu yang mulai membiru dengan bekas air mata yang mengalir. Yang kurasakan dari
pelukan yang tak kunjung lepas. Kubangunkan ibuku, tapi ibu hanya diam tak
kunjung membuka matanya. Entah berapa kali aku mencoba membangunkannya. Entah
sudah berapa kali aku terisak sambil mengusap ibuku yang sudah terbujur kaku.
Kemudian aku tersadar bahwa aku telah kehilangan sebuah senyum, sebuah belaian,
sebuah kehangatan dan sebuah malam.
Angin berhembus lagi, entah
berapa kali. Seiring dengan hawa dingin yang masuk ke dalam tubuhku, sebutir air mengalir pelan dari mataku.
Mataku seperti tersayat-sayat. Kenapa ibu harus pergi memelukku? Dan aku sadar
bahwa aku lupa ucapkan selamat tinggal pada ibuku. Hatiku berontak meneriakkan
sebuah keadilan. Tapi, aku tak bisa berteriak. Aku tak bisa memaki-maki orang
yang berlalu di depanku. Aku hanya diam terpaku menatap batu. Aku hanya bisa
membiarkan kegalauan ini terus terbungkus malam. Membiarkan penyesalan terus
menghampiri pikiranku. Selang beberapa lama pikiranku bosan, aku membiarkan
diriku diseret oleh kakiku. Sambil menginjak kerikil-kerikil yang menghalangi
langkahku. Kuucapkan selamat tinggal pada malam, pada jalan dan pada ibuku.
“Selamat jalan ibu, dan aku
berkata dalam duka.”
Choirunnisa
XI
Jasa Boga 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar